Minggu, 15 Februari 2009

VALENTINE DAY, RIWAYATMU KINI

Kasih sayang merupakan anugerah terindah yang pernah ada. Bisa dibayangkan jika tak ada kasih sayang di dunia ini. Hidup ini akan terasa hambar. Ini sebagaimana dikatakan seorang teman, hidup tanpa kasih sayang seperti sayur tanpa garam. Mungkin karena itulah Hari Kasih Sayang, atau Valentine Day, mendapat sambutan hangat di berbagai belahan dunia. Yah, di tengah dunia yang penuh kekerasan ini, datangnya Hari Kasih Sayang memang bagaikan setetes air hujan yang menyejukkan dahaga.

Sayang, hari yang demikian “sacral” ini dikotori oleh orang-orang yang kurang bertanggung jawab. Hari yang seharusnya penuh kasih itu dikotori dengan aksi brutal kebut-kebutan, tawuran, pesta miras dan narkoba, serta pesta seks. Tak heran para “orang suci” di negeri ini kegerahan. Dan sebagai tanggapannya, “lembaga perkumpulan orang suci” pun ambil jalan ringkas dengan mengharamkannya. Keputusan yang sangat tidak bijak menurutku

Harus diakui memang telah terjadi pergeseran akan pemaknaan Hari Kasih Sayang. Tapi apa salahnya Hari Kasih Sayang sehingga harus dinistakan dengan diharamkan sedemikian rupa. Sebenarnya yang diperangi oleh para “orang suci” ini pergeseran pemaknaannya atau pesan kasih sayang dari Valentine Day? Jika yang diperangi adalah pergeseran pemaknaannya, ya yang diharamkan perbuatan penggeseran maknanya donk. Bukan Hari Kasih Sayangnya, apalagi kasih sayang itu sendiri. Saya sendiri jadi bingung, para “orang suci” ini sebenarnya pro terhadap kasih sayang atau kontra terhadap kasih sayang?

Ah, kan kasih sayang itu setiap hari harus dilakukan, tidak harus nunggu setahun sekali. Begitu para “orang suci” beralasan. Hmmm, sekilas sepertinya benar. Tapi mari kita gunakan logika para “orang suci” ini pada konteks “memaafkan”. Bukankah memaafkan harus dilakukan setiap hari, setiap saat. Lalu kenapa harus ada “perayaan maaf-memaafkan” setahun sekali. Kalau konsistenkan juga tidak perlu dirayakan. Kan pada hari seperti itu juga terjadi kebut-kebutan. Pesta mercon yang memakan korban jiwa. Marak penjarahan rumah kosong.

He he he…. Terlepas dari ketidak setujuanku akan pengharaman Hari Kasih Sayang oleh para “orang suci”, pergeseran pemaknaan Hari Kasih Sayang memang meresahkan. Kasih sayang yang tak ternilai harganya, kini pun “dihargai” dengan mengkomesialkannya. Hari Kasih Sayang memang telah menjadi peluang bisnis yang menjanjikan. Tak heran banyak produk, baik barang maupun jasa, ditawarkan terkait perayaan Hari Kasih Sayang. Dan, “prinsip ekonomi” pun berlaku. Banyak barang dan jasa “tak bermutu” pun dijual dengan bungkus kasih sayang. Barang dan jasa yang sebenarnya tak terkait sama sekali dengan kasih sayang.

Sebegitu murahnyakah harga dan nilai kasih sayang? Mari bersama kita letakkan kembali hari kasih sayang, terlebih kasih sayang itu sendiri, pada tempatnya.

Senin, 09 Februari 2009

TUHAN YANG MAHA SEGALA

Pada 7 Februari 2009 lalu, Vita Chandra (Ayen), sahabat dekat saya yang beberapa bulan terakhir ini menghilang karena ikut suaminya di Palu, tiba-tiba mengirim SMS. SMS ini bukan sembarang SMS. Sebab, isinya sebuah pertanyaan yang cukup kritis sekaligus nakal ala Vita Chandra. Bunyi SMSnya seperti ini:

Mas bagus, po kbr? Ada prtnyaan: mampukah Tuhan yang maha sgala2ny itu mnciptakan batu yg sgt GD, saking GDny batu itu hgga Tuhan pun tak kuat utk mengangkatny??

Wuah, benar-benar pertanyan maut. Lebih-lebih bagi orang yang percaya dan mengimani Tuhan sebagai maha segala. Lho, kok bisa?

Coba pikir. Kalau Tuhan yang maha segala-galanya itu mampu menciptakan batu yang sangat besar, di mana saking besarnya batu itu Tuhan sendiri tidak kuat mengangkatnya, tentu kemaha perkasaan Tuhan dipertanyakan. Kok Tuhan yang maha segalanya tidak kuat mengangkatnya. Tidak maha perkasa donk. Terus, kalau Tuhan tidak bisa menciptakan batu seperti itu, mengingat batu sebesar apa pun Dia pasti kuat mengangkatnya, maka kemaha penciptaan Tuhan yang dipertanyakan. Hehehe, bisa rontok tuh iman mereka yang nggak kuat.

Saya jadi senyum-senyum sendiri membaca dan memikirkan SMS tersebut. Dasar Vita Chandra. Baik sebelum maupun setelah menikah masih tidak berubah. Kerjanya mempertanyakan Tuhan dengan pertanyaan kritis dan nakalnya. Tapi, itu lah yang saya suka dari sahabat satu ini.

Bagi saya pribadi, yang menganut “Jalan Pasif” (baca artikel: JALAN PASIF; Kamis, 2009 Januari 29), pertanyaaan itu termasuk kategori pertanyaan yang tidak penting. Maaf beribu maaf ya Vita. Pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban. Namun, sebagai sahabat yang baik, saya merasa memiliki kewajiban untuk menjawabnya. Hehehe, lagian kalau tidak dijawab pasti akan diejek habis-habisan. Begini jawab saya:

Bisa saja kalau Tuhan mau. Tapi sptnya Tuhan tdk mau melakukan itu. Kayak kurang kerjaan aja… :D

Lho kok bisa? Mana logikanya? Bisa membuat batu yang gede sampai tidak kuat mengangkat, tapi juga mampu mengangkat. Kan tidak nyambung. Nggak logis. Nggak ada konsistensi jawaban. Tidak bisa mengangkat ya tidak bisa. Kok tiba-tiba jadi kuat mengangkat.

Hahaha, itulah “kehebatan” dari kemaha segalaan Tuhan. Kan termasuk di antaranya “maha aneh”. Maha nggak logis. Bisa melakukan apa yang dipertanyakan sahabatku dalam SMSnya secara bersamaan, secara serempak. Sanggup menciptakan batu yang besar dimana Dia sendiri tidak bakal mampu mengangkatnya, sekaligus juga kuat mengangkatnya kalau Dia mau.

Mendebat logika Tuhan yang maha segala memang susah. Karena hasil akhirnya pasti Tuhan yang maha segala itu yang menang. Kan maha segala. Termasuk maha tak terkalahkan. Hehehe….

Tapi sekali lagi itu tak penting bagiku. Bagi orang yang menempuh jalan pasif.

Kamis, 29 Januari 2009

JALAN PASIF

Oleh: Paskalis Bagus Aryawan

Jalan pasif. Itulah jalan yang aku tempuh berkaitan dengan kepercayaan akan Tuhan, surga-neraka, beserta segala macam hal yg mengikutinya yang berbau adi kodrati. Alasannya. Pertama, tak terjangkau oleh pikiranku. Kedua, tak banyak manfaat yang dapat aku petik dari membicarakan itu semua terhadap perkembangan spiritualitasku.

Aku pribadi memahami Tuhan sebagai “Yang Tak Terkatakan” dan “Yang Tak Terpikirkan”. Siapa sebenarnya itu Tuhan? Apakah Dia itu satu dan bermanifestasi dalam bentuk banyak dewa? Atau, apakah Dia itu satu dengan tiga pribadi? Atau, apakah Dia itu satu, dan titik, pokoknya satu? Apakah Dia jauh? Apakah Dia dekat? Atau, apakah Dia jauh sekaligus dekat? Bagiku itu tidak penting.

Pemahaman, yang akhirnya menimbulkan keyakinan, akan Tuhan sebagai “Yang Tak Terkatakan” dan “Yang Tak Terpikirkan” ini lahir dari keprihatinanku akan banyaknya pertentangan antar pemeluk agama di dunia ini. Yang rela melakukan penghinaan, pendiskriminasian, hingga pembunuhan terhadap pemeluk agama lain demi apa yang “diyakininya”. Hal tersebut kadang menimbulkan kesinisan dan kekecewaan: “Ini kah perdamaian dan cinta kasih yang ditawarkan itu?”

Keyakinan dan pemahamanku ini bukannya tanpa konsekwensi. Keyakinan dan pemahamanku akan Tuhan yang demikian ini sering kali menimbulkan salah tangkap dari orang-orang yang kurang memahaminya. Cap sebagai atheis pun sering kali distempelkan pada diriku. Lebih-lebih dari orang yang begitu “ekstrim fundamentalis” terhadap agamanya. Yang begitu gampangnya menganggap ajaran dan pemahaman di luar agamanya adalah salah. Yang menganggap orang yang tidak seagama adalah orang yang berdosa. Orang yang perlu ditobatkan. Orang yang kafir. Calon penghuni “neraka”.

Apakah aku seorang atheis seperti yang dituduhkan? Yang aku tahu, hatiku meyakini adanya Tuhan. Tidak ada teori dari Tuhan yang aku yakini ini. Tidak ada argumen yang kuat dari keyakinanku ini. Tidak ada bukti yang kuat yang dapat membuktikan keberadaanNya, di mana semua bukti yang ada pasti bisa dibantah. Mungkin karena itulah keyakinan ini disebut iman.

Yang jelas, yang aku tahu, pemahamanku akan Tuhan sebagai “Yang Tak Terkatakan” dan “Yang Tak Terpikirkan” ini membuatku lebih terbuka dalam memahami keunikan iman masing-masing pemeluk agama. Begitu “Tak Terkatakan” dan “Tak Terpikirkannya” Tuhan sehingga ada banyak konsep tentang Tuhan. Kadang ada kemiripan dan sering kali banyak perbedaan. Mana yang benar dan mana yang salah akhirnya tidak lagi menjadi suatu yang penting bagiku untuk diperdebatkan. Apalagi untuk dipertentangkan hingga tumpahnya darah.

Begitu juga yang berkaitan dengan konsep surga-neraka, alam setan, kahyangan, surga barat, alam brahma, atau nirvana. Yang aku yakini bahwa siapa yang berbuat baik akan mendapatkan kebaikan. Siapa yang berbuat buruk akan mendapatkan keburukan. Entah apa sebutannya dan bagaimana bentuknya, sekali lagi itu tidak penting.

Lalu, apa yang penting bagiku? Yaitu, bagaimana kelahiranku dan hidupku di dunia ini tidak sia-sia, berguna bagi semua. Bagaimana aku dapat menjadi penghibur bagi mereka yang berduka. Bagaimana aku dapat menjadi penyejuk bagi mereka yang mengalami kekeringan hati. Bagaimana aku dapat menjadi pemberi harapan bagi mereka yang mengalami keputusasaan. Bagaimana aku dapat menjadi ....... bagi mereka yang ........

Apa komentar Anda?

Jumat, 21 November 2008

MEDITASI KEMATIAN

Oleh: Paskalis Bagus Aryawan

Saya pernah punya pengalaman di mana saya merasakan kematian begitu dekat dengan saya. Bahwa sebentar lagi, dalam hitungan menit atau detik, saya mati. Ketika berbaring di tempat tidur, badan saya lemah tak bisa digerakkan sama sekali. Suhu tubuh saya menurun, dingin. Pandangan saya mengabur. Telinga, ini yang aneh, mendengar suara-suara yang tidak lazim. Dan saya merasa seolah ada sesuatu, saya pikir roh saya, yang mendesak ingin keluar dari badan.

Kala itu, saya dilingkupi perasaan takut luar biasa. Takut mati karena belum siap untuk mati. Entah dari mana keyakinan bahwa saya akan mati itu muncul. Tetapi, keyakinan itu muncul begitu kuatnya dan tiba-tiba. Saya benar-benar tak berdaya untuk melawannya. Timbul perasaan benci, jijik, dan muak terhadap diri saya sendiri. Mengapa selama ini saya tidak menyiapkan kematian saya dengan baik, sehingga bila mati sewaktu-waktu saya siap menyambutnya?

Menit demi menit berlalu. Saya belum juga mati. Berangsur-angsur suhu tubuh saya naik kembali. Mata saya mulai dapat melihat langit-langit kamar dengan jelas. Pendengaran saya pun kembali normal. Dan, horeee.... saya benar-benar tidak jadi mati.

Ketika seorang teman mendengar cerita pengalaman saya ini, ia meminjamkan sebuah buku bagus kepada saya. Judulnya saya lupa, tapi saya telah meringkas isinya. Buku ini membahas tentang latihan meditasi untuk mempersiapkan kematian. Selain teknik meditasi, buku tersebut juga membahas seputar kematian menurut kebijaksanaan Timur. Penulis buku ini adalah seorang Lama Tibet. Kalau tidak salah bernama Gehlek Rinpoche.

Dalam buku itu dikatakan bahwa kematian itu pasti. Tak seorang pun dapat menghindarinya. Tak seorang pun dapat hidup kekal. Oleh karena itu, daripada memikirkan bagaimana menghindari kematian, lebih baik kita memikirkan atau membayangkan kematian itu sendiri.

Memikirkan atau membayangkan kematian tidak hanya akan membantu kita mengurangi ketakutan akan kematian. Memikirkan atau membayangkan kematian juga akan meletakkan dasar bagi kita untuk menggunakan kesempatan mentransformasikan proses kematian ke dalam proses pencerahan. Atau, minimal kita dapat memiliki kematian yang lebih baik.

Selama proses meninggal, banyak hal yang terjadi dan dapat tampak sebagai hal yang menakutkan. Pendengaran dan penglihatan akan berkurang, dan akhirnya sama sekali tidak berfungsi. Kejelasan dan ketenangan pun akan berlalu. Dalam hal ini penting sekali mengingat bahwa kematian adalah proses yang dialami setiap orang. Ini adalah hal yg normal.

Ketika elemen-elemen tubuh seperti bumi, air, api, dan udara larut serta pikiran mulai memasuki proses pemisahan, kita akan mengalami sensasi berat, tenggelam (ini akan tampak sebagai tangan yang menggapai-gapai), ataupun merasakan angin kuat yang bertiup. Itu semua merupakan gejala atau tanda-tanda peleburan internal. Alasan untuk menceritakan tanda dan gejala ini adalah agar kita tidak terkejut. Di mana jika kita mendekatinya, kita dapat fokus dengan mempengaruhi pikiran secara positif.

Ada suatu meditasi untuk mengenali tanda dan gejala ini, agar ketika meninggal kita sudah terbiasa. Inilah visualisasinya:
Saya melihat air sebagai fatamorgana.
Ini adalah elemen bumi sebagai berhenti
dan saya tidak dapat bergerak lagi.
Saya melihat uap seperti cairan tubuh saya mengering
dan saya tidak dapat lagi menelan.
Saya melihat bunga api di ruangan yang gelap seperti segenggam kayu bakar.
Suhu panas tubuhku melemah.
Saya melihat kerlip pantulan sinar lilin ketika berhenti bernafas.
Saya melihat warna keputihan sebagai esensi hakiki dari ayah saya
yang dipisahkan dari esensi hakiki ibu saya.
Dan, warna kemerahan sebagai esensi hakiki ibu saya juga larut.
Saya jatuh dalam kegelapan total
dan meninggalkan tubuh saya.
Saya melihat sinar bulan, rapuh dan terang,
sebagai sifat murni diri saya sendiri.

Perlu diingat, tidak peduli apa yang terjadi pada proses menjelang kematian, atau apapun yang kita lalui. Jangan lupa untuk tetap dalam bingkai pikiran cinta kasih dan welas asih yang positif, atau dalam bingkai pikiran akan Tuhan. Jangan biarkan awan kesedihan dan kekuatiran mengganggu konsentrasi kita. Jika kita dapat mencapai sinar yang terang, kesegaran yang lembut setelah waktu kegelapan, itulah pencapaian yang luar biasa.

Ada satu pelajaran yang kita peroleh dari sini. Jagalah ketenangan ketika mendampingi mereka yang berada dalam sakratul maut. Jangan menangis, atau lebih parah lagi berteriak dengan meraung histeris, apalagi mengguncang-guncang tubuh mereka. Ini akan mengganggu ketenangan mereka yang mau meninggal. Tetaplah tenang. Relakan. Bukankah setiap orang pada akhirnya juga akan mati. Iringilah kepergiannya dengan doa dan senyuman, maka ia pun akan pergi dengan senyuman.

Sayang, tidak semua orang meninggal secara perlahan. Dalam suatu kecelakaan mungkin tidak ada waktu untuk melihat tanda-tanda kematian. Jika kita meninggal tiba-tiba, cobalah untuk mengingat welas asih, atau cobalah untuk mengingat Tuhan. Ini dapat dilatih dengan selalu berlatih kesadaran akan welas asih, akan segala sesuatu yang murni, akan Tuhan setiap hari. Dengan berlatih kesadaran tersebut, kita akan mengingatnya ketika waktunya tiba, dan siap mempertanggung jawabkan perbuatan kita yang selalu didasari atas kesadaran welas asih, segala yang murni, dan Tuhan.

Selamilah dan berlatihlah meditasi kematian mulai saat ini. Sebab, ketika kita tidak mengerti akan kematian, hidup menjadi sangat membingungkan.

Rabu, 14 Mei 2008

TULI DAN BISUKAH AKU?

Oleh: Paskalis Bagus Aryawan

Ituk, tetanggaku adalah seorang yang tuli dan bisu. Sejak lahir si Ituk memiliki kekurangan pada pendengarannya. Akibatnya, sejak kecil si Ituk terasing dengan dunia sekitarnya, khususnya dunia suara. Akibat lanjutnya, si Ituk menjadi orang yang gagu, bisu.

Si Ituk memiliki kebiasaan “aneh”. Sering marah. Ngomel-ngomel sendiri kalau melihat orang ngobrol. Sangkanya mereka membicarakan kekurangannya. Ya..., itulah si Ituk.

Anda. Saya. Kita. Mungkin secara fisik tidak tuli dan bisu seperti si Ituk. Tapi bagaimana dengan batin dan spiritual kita?

Ketika kita melihat orang menderita dan kita berlaku seolah tidak tahu, apakah itu tidak bisa dikatakan tuli? Tuli hati membuat kita bisu dalam karya. Dan sebagaimana si Ituk, ketulian hati dan kebisuan karya kita menumbuhkan perasaan tidak tenang dan curiga terhadap orang lain dalam hati kita.

Mari kita pertajam hati kita agar mampu mendengarkan suara halus Tuhan yang bergema di sana. Membuka kebisuan karya kita dengan selalu mendasarkan tindakan kita pada suara hati yang murni.

Senin, 12 Mei 2008

CINTA KASIH = METTA KARUNA

Oleh: Paskalis Bagus Aryawan

Banyak definisi tentang cinta kasih. Banyak ragam orang mengekspresikan cinta kasih. Sebenarnya, apa itu cinta kasih?

Terlepas dari kekaguman saya terhadap Sang Buddha (oh ya saya bukan seorang Buddhis) definisi cinta kasih dari Sang Buddha adalah yang paling berkesan di hati saya. Menurut Sang Buddha, cinta kasih adalah metta karuna. Metta berarti memberikan kebahagiaan. Karuna berarti melepaskan penderitaan. Itulah hakekat cinta kasih. Perbuatan (baik melalui mulut, tubuh, maupun pikiran) memberikan kebahagiaan dan melepaskan penderitaan.

Lalu, siapa yang perlu dicintai, dikasihi? Tentu saja semua mahluk, baik itu diri kita, sesama manusia, binatang, mereka yang telah meninggal, bahkan setan pun harus dikasihi.

Setan pun harus dikasihi? Ya. Mengasihi mereka yang mengasihi kita adalah hal yang mudah. Mengasihi mereka yang menjahati kita itu adalah hal yang sulit. Kita disebut PECINTA ketika kita bisa mengasihi mereka yang jahat kepada kita. Termasuk setan. Soal setan jahat dengan kita, itu urusan setan. Urusan PECINTA adalah mencintai.

Tapi, apakah itu tidak dosa? Tentu saja tidak. Itu malah suatu tindakan yang sangat terpuji. Mencintai setan bukan berarti kita mengikuti apa yang diingini dan dibujukkan setan. Mencintai setan di sini diartikan sebagai mengasihi setan sebagai bagian dari mahluk ciptaan Tuhan. Tidak setuju dengan perbuatannya, bukan berarti harus membencinya. Bila kita membenci setan pada dasarnya kita sudah kalah, karena kebencian sudah meraja dalam diri kita. Kebencian itu sendiri adalah bagian dari setan.

BERPIKIR DAN BERTINDAK SEPERTI TUHAN

Oleh: Paskalis Bagus Aryawan

Dalam falsafah Jawa, TUHAN diibaratkan sebagai API dan manusia adalah percikannya. Sebagai percikan api, manusia memiliki sifat-sifat API, sifat-sifat TUHAN dalam dirinya. Kebaikan, kebijaksanaan, kemurah hatian, kemampuan mencipta (berkreasi), dsb. Manusia pun disebut sebagai gambaran atau citra TUHAN. Mahluk sempurna yang merupakan “tuhan kecil” di dunia ini. Yang diberi kuasa untuk memelihara kehidupan di dunia ini.

Sayang, karena kepicikannya, “tuhan kecil” ini berlaku selayaknya “tuhan besar” (bukan TUHAN). Kalau TUHAN bertindak berdasarkan kasih, karena DIA adalah kasih, maka “tuhan besar” bertindak berdasarkan egonya semata. Ini terjadi karena manusia memisahkan diri dari TUHANnya. Namun, sebagaimana percikan api akan hilang musnah bila terpisah dari sumber API, manusia demikian akan hilang musnah karena terpisah dari TUHAN, selaku sumbernya.

Dalam upaya mendekatkan diri pada TUHAN dan semakin menjadi gambaran nyata TUHAN di dunia ini, orang Jawa melakukan berbagai macam lelakhu. Yang paling populer dari sekian banyak lelakhu adalah pathi geni, yaitu lelakhu dalam rupa tidak makan, tidak minum, dan tidak tidur selama tiga hari tiga malam tanpa putus. Pemikirannya adalah bahwa Tuhan tidak makan, tidak minum, dan tidak tidur. Lalu, mengapa hanya tiga hari? Ya, mungkin karena di situlah batas kemampuan manusia. Kalau selamanya ya nanti mati. Dan malah jadi dosa. Karena namanya bunuh diri.

Lebih dari itu, pathi geni memiliki nilai pembelajaran yang sangat tinggi. Di mana, dalam menjalankan pathi geni, para pelaku digembleng dengan deraan siksaan fisik dan batin. Tubuh yang lemas karena lapar dan haus, dan juga kanthuk yang mendera dan harus ditahan, tentunya menimbulkan segala macam reaksi batin yang harus diolah selama menjalankan lelakhu. Kalau sampai kalah, mereka dianggap gagal dalam lelakhu. Namun, jika mereka berhasil, mereka akan menemukan pencerahan. Para pelaku ini menjadi sadar bahwa meskipun memiliki sifat-sifat TUHAN, mereka tidak sebanding dengan TUHAN. Pasrah sumarah, penyerahan diri, pada TUHAN pun muncul dan kerendahan hati menjadi kereta mereka dalam meniti kehidupan ini.

Pertanyaannya adalah, haruskah kita berlaku seperti itu? Kalau mau ya silakan, kalau tidak ya tidak apa-apa. Di sini saya mencoba untuk memunculkan alternatif lain yang “lebih mudah” dalam artian tertentu, tetapi bisa jadi “lebih sukar” kalau kita tidak memiliki kedisiplinan diri dalam menjalankannya. BERPIKIR DAN BERTINDAK SEPERTI TUHAN, itulah alternatif yang coba saya munculkan. Alternatif ini saya ambil secara bebas dari pemikiran Ignatius, seorang suci, filsuf, dan teolog dari Loyola, Spanyol. Ya, kita sebut saja Ignatius Loyola.

Ignatius Loyola membagi kehidupan rohani dalam tiga tingkatan. Tingkat pertama adalah menjalankan hukum. Tingkat berikutnya adalah lepas bebas. Dan, tingkat terakhir adalah BERPIKIR DAN BERTINDAK SEPERTI TUHAN, atau “menjadi tuhan”.

Mereka yang baru sampai tingkat pertama dalam kehidupan rohaninya adalah mereka yang menjalankan atau melakukan sesuatu berdasarkan boleh atau tidak boleh sesuai dengan aturan dan hukum yang berlaku. Bisa aturan dan hukum agama. Bisa juga aturan dan hukum negara. Mereka yang baru sampai tahap ini biasanya sangat kaku. Dalam artian tertentu “kurang” toleran. Meskipun demikian, orang-orang ini sudah memiliki benih, atau percikan api, kerohanian di dalam dirinya.

Lalu mereka yang sampai tahap kedua, tahap lepas bebas, adalah mereka yang tidak terikat kaku dengan aturan dan hukum yang ada. Mereka ini bertindak lebih berdasarkan kesadaran hati. “Aku menolong pengemis yang kelaparan bukan semata karena aturan dan hukum agamaku menyarankan demikian, tetapi lebih karena perbuatan itu menurutku adalah baik dan patut dikembangkan.” Dalam tataran ekstrim, orang-orang ini berani “melanggar” aturan dan hukum yang ada bila masuk dalam situasi, kondisi, moment, dan kasus tertentu.

Kemudian yang terakhir, sebagai puncak tingkatan rohani, adalah BERPIKIR DAN BERTINDAK SEPERTI TUHAN. Mereka yang sudah sampai tahap ini mendasarkan hidupnya pada Tuhan. Contohnya ketika mereka berjalan dan melihat paku atau pecahan gelas (beling) di jalan, mereka akan berpikir: “Kalau TUHAN itu aku, apa yang akan dilakukan TUHAN? Membiarkan paku atau beling itu di jalan, dan menyalahkan mereka yang kurang hati-hati lalu menginjaknya. Atau, mengambil dan menyingkirkannya ke tempat yang tepat agar orang yang lewat tidak terluka karenanya.” Dan, mereka sungguh melakukan itu. Mengambil paku atau beling yang ada dan menyingkirkannya ke tempat yang tepat atau aman.

Contoh lainnya, ketika mereka (sebagai suami) mendapati istrinya sedang berselingkuh di depan mata, mereka berpikir: “Kalau TUHAN itu aku, apa yang akan dilakukan TUHAN?” Kira-kira apa ya yang akan dilakukan Tuhan? He, he, he........... Yang jelas, TUHAN pasti nggak kalap, tidak terus membunuh “istri” dan “selingkuhan istrinya”.

Contoh lainnya lagi? Silakan buat sendiri. Andai TUHAN itu pelajar. Andai TUHAN itu wanita karier. Andai TUHAN itu pemimpin negara. Andai TUHAN itu ...............

Seperti telah disinggung sebelumnya, BERPIKIR DAN BERTINDAK SEPERTI TUHAN ini gampang-gampang susah. “Gampang”, karena tidak butuh hafal Kitab Suci untuk dapat berpikir seperti TUHAN. Yang dibutuhkan adalah hati yang hening dan pikiran yang jernih. Cara melatihnya bisa dengan banyak-banyak meditasi. Kemudian ini juga “susah”, karena melakukan apa yang “dipikirkan TUHAN” itu butuh kedisiplinan dan keteguhan hati. Banyak tidak enaknya. Lha wong ditampar pipi kiri kok malah memberikan pipi kanan. Lha wong dikhianati mentah-mentah kok malah mengampuni dengan pengampunan penuh dan tulus.

Sebagai tenik berbuat baik, BERPIKIR DAN BERTINDAK SEPERTI TUHAN ala Ignatius Loyola ini dapat jadikan alternatif bagi kita yang merindukan menjadi orang yang baik. Selamat mencoba.