Kasih sayang merupakan anugerah terindah yang pernah ada. Bisa dibayangkan jika tak ada kasih sayang di dunia ini. Hidup ini akan terasa hambar. Ini sebagaimana dikatakan seorang teman, hidup tanpa kasih sayang seperti sayur tanpa garam. Mungkin karena itulah Hari Kasih Sayang, atau Valentine Day, mendapat sambutan hangat di berbagai belahan dunia. Yah, di tengah dunia yang penuh kekerasan ini, datangnya Hari Kasih Sayang memang bagaikan setetes air hujan yang menyejukkan dahaga.
Sayang, hari yang demikian “sacral” ini dikotori oleh orang-orang yang kurang bertanggung jawab. Hari yang seharusnya penuh kasih itu dikotori dengan aksi brutal kebut-kebutan, tawuran, pesta miras dan narkoba, serta pesta seks. Tak heran para “orang suci” di negeri ini kegerahan. Dan sebagai tanggapannya, “lembaga perkumpulan orang suci” pun ambil jalan ringkas dengan mengharamkannya. Keputusan yang sangat tidak bijak menurutku
Harus diakui memang telah terjadi pergeseran akan pemaknaan Hari Kasih Sayang. Tapi apa salahnya Hari Kasih Sayang sehingga harus dinistakan dengan diharamkan sedemikian rupa. Sebenarnya yang diperangi oleh para “orang suci” ini pergeseran pemaknaannya atau pesan kasih sayang dari Valentine Day? Jika yang diperangi adalah pergeseran pemaknaannya, ya yang diharamkan perbuatan penggeseran maknanya donk. Bukan Hari Kasih Sayangnya, apalagi kasih sayang itu sendiri. Saya sendiri jadi bingung, para “orang suci” ini sebenarnya pro terhadap kasih sayang atau kontra terhadap kasih sayang?
Ah, kan kasih sayang itu setiap hari harus dilakukan, tidak harus nunggu setahun sekali. Begitu para “orang suci” beralasan. Hmmm, sekilas sepertinya benar. Tapi mari kita gunakan logika para “orang suci” ini pada konteks “memaafkan”. Bukankah memaafkan harus dilakukan setiap hari, setiap saat. Lalu kenapa harus ada “perayaan maaf-memaafkan” setahun sekali. Kalau konsistenkan juga tidak perlu dirayakan. Kan pada hari seperti itu juga terjadi kebut-kebutan. Pesta mercon yang memakan korban jiwa. Marak penjarahan rumah kosong.
He he he…. Terlepas dari ketidak setujuanku akan pengharaman Hari Kasih Sayang oleh para “orang suci”, pergeseran pemaknaan Hari Kasih Sayang memang meresahkan. Kasih sayang yang tak ternilai harganya, kini pun “dihargai” dengan mengkomesialkannya. Hari Kasih Sayang memang telah menjadi peluang bisnis yang menjanjikan. Tak heran banyak produk, baik barang maupun jasa, ditawarkan terkait perayaan Hari Kasih Sayang. Dan, “prinsip ekonomi” pun berlaku. Banyak barang dan jasa “tak bermutu” pun dijual dengan bungkus kasih sayang. Barang dan jasa yang sebenarnya tak terkait sama sekali dengan kasih sayang.
Sebegitu murahnyakah harga dan nilai kasih sayang? Mari bersama kita letakkan kembali hari kasih sayang, terlebih kasih sayang itu sendiri, pada tempatnya.
Sayang, hari yang demikian “sacral” ini dikotori oleh orang-orang yang kurang bertanggung jawab. Hari yang seharusnya penuh kasih itu dikotori dengan aksi brutal kebut-kebutan, tawuran, pesta miras dan narkoba, serta pesta seks. Tak heran para “orang suci” di negeri ini kegerahan. Dan sebagai tanggapannya, “lembaga perkumpulan orang suci” pun ambil jalan ringkas dengan mengharamkannya. Keputusan yang sangat tidak bijak menurutku
Harus diakui memang telah terjadi pergeseran akan pemaknaan Hari Kasih Sayang. Tapi apa salahnya Hari Kasih Sayang sehingga harus dinistakan dengan diharamkan sedemikian rupa. Sebenarnya yang diperangi oleh para “orang suci” ini pergeseran pemaknaannya atau pesan kasih sayang dari Valentine Day? Jika yang diperangi adalah pergeseran pemaknaannya, ya yang diharamkan perbuatan penggeseran maknanya donk. Bukan Hari Kasih Sayangnya, apalagi kasih sayang itu sendiri. Saya sendiri jadi bingung, para “orang suci” ini sebenarnya pro terhadap kasih sayang atau kontra terhadap kasih sayang?
Ah, kan kasih sayang itu setiap hari harus dilakukan, tidak harus nunggu setahun sekali. Begitu para “orang suci” beralasan. Hmmm, sekilas sepertinya benar. Tapi mari kita gunakan logika para “orang suci” ini pada konteks “memaafkan”. Bukankah memaafkan harus dilakukan setiap hari, setiap saat. Lalu kenapa harus ada “perayaan maaf-memaafkan” setahun sekali. Kalau konsistenkan juga tidak perlu dirayakan. Kan pada hari seperti itu juga terjadi kebut-kebutan. Pesta mercon yang memakan korban jiwa. Marak penjarahan rumah kosong.
He he he…. Terlepas dari ketidak setujuanku akan pengharaman Hari Kasih Sayang oleh para “orang suci”, pergeseran pemaknaan Hari Kasih Sayang memang meresahkan. Kasih sayang yang tak ternilai harganya, kini pun “dihargai” dengan mengkomesialkannya. Hari Kasih Sayang memang telah menjadi peluang bisnis yang menjanjikan. Tak heran banyak produk, baik barang maupun jasa, ditawarkan terkait perayaan Hari Kasih Sayang. Dan, “prinsip ekonomi” pun berlaku. Banyak barang dan jasa “tak bermutu” pun dijual dengan bungkus kasih sayang. Barang dan jasa yang sebenarnya tak terkait sama sekali dengan kasih sayang.
Sebegitu murahnyakah harga dan nilai kasih sayang? Mari bersama kita letakkan kembali hari kasih sayang, terlebih kasih sayang itu sendiri, pada tempatnya.